Selasa, 19 Juni 2012

Proses Bisnis Utama Perpajakan Indonesia

Secara umum Proses Bisnis Utama dibagi menjadi 12, yaitu :
1.1.       Pendaftaran
1.1.1.  Pendaftaran WP
1.1.2.     PenghapusanNPWP
1.1.3.     Pemindahan WP
1.1.4.     Perubahan Identitas WP
1.1.5.     PengukuhanPKP
1.1.6.     PencabutanPKP
1.1.7.     PemindahanPKP
1.1.8.     PendataanObjekPBB
1.1.9.     Perubahan IdentitasPKP
1.2.       Pembayaran
1.2.1.     Pelaporan Penerimaan
1.2.2.     Pemantauan Penerimaan
1.2.3.2. Restitusi
1.2.4.     Pemindahbukuan
 1.3. Pelaporan
1.5.     Pelayanan
1.5.3. Konsultasi
1.6.     Pengawasan Kepatuhan
1.6.1. Mapping
     1.6.2. Profiling
1.7.     Pemeriksaan
1.7.6. Review
1.7.9. Peer review
1.8.     Penagihan
1.8.4. Penyitaan
1.8.5. Penyanderaan
1.8.6. Lelang
1.8.7. Pencegahan
1.9.3. Keberatan
1.9.8. Penerbitan Surat Keputusan
1.9.9. Gugatan
1.9.14. Evaluasi Putusan Peninjauan Kembali.
1.9.15. Evaluasi Hasil Pembetulan, Pengurangan, Penghapusan dan Pembatalan.
1.10.       Pengamatan dan Penyidikan
1.11.       Ekstensifikasi
1.12.       Penilaian PBB

Pengelolaan Pengurangan Piutang Pajak


  1. Piutang pajak yang dikurangkan adalah piutang pajak yang jumlahnya masih harus ditagih sebagaimana tercantum dalam STP, SKPKB, SKPKBT, yang meliputi pokok pajak kenaikan bunga dan atau denda.
  2. Syarat-syarat piutang pajak yang dikurangkan adalah:
Piutang tersebut tercantum dalam STP, SKPKB, SKPKBT
Sudah dilakukan upaya tindakan penagihan sampai dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Wajib pajak telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan harta warisann tidak mempunyai ahli waris dengan bukti surat keterangan dari instansi yang terkait.
Wajib Pajak tidak dapat ditemukan lagi karena pindah alamat
Wajib Pajak tidak mempunyai kekayaan lagi
Penagihan pajak telah kadaluwarsa.

Penataausahaan Piutang Pajak

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : PER - 02/PJ/2012

TENTANG

PENGGOLONGAN KUALITAS PIUTANG PAJAK DAN CARA
PENGHITUNGAN PENYISIHAN PIUTANG PAJAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang    :

  1. bahwa untuk penyajian aset berupa piutang pajak di neraca dengan nilai bersih yang dapat direalisasikan (net realizable value), perlu membentuk penyisihan piutang pajak tidak tertagih;
  2. bahwa untuk membentuk penyisihan piutang pajak tidak tertagih, perlu menggolongkan kualitas piutang pajak;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 201/PMK.06/2010 tentang Kualitas Piutang Kementerian Negara/Lembaga dan Pembentukan Penyisihan Piutang Tidak Tertagih, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Penggolongan Kualitas Piutang Pajak dan Cara Penghitungan Penyisihan Piutang Pajak;

Mengingat    :

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3686) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3987);
  3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4614);
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4797);
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5165);
  7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 201/PMK.06/2010 tentang Kualitas Piutang Kementerian Negara/Lembaga dan Pembentukan Penyisihan Piutang Tidak Tertagih (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 565);


MEMUTUSKAN:

Menetapkan    :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PENGGOLONGAN KUALITAS PIUTANG PAJAK DAN CARA PENGHITUNGAN PENYISIHAN PIUTANG PAJAK.


Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan:
  1. Piutang Pajak adalah piutang yang timbul atas pendapatan pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang perpajakan, yang belum dilunasi sampai dengan akhir periode laporan.
  2. Penyisihan Piutang Pajak Tidak Tertagih adalah cadangan yang harus dibentuk sebesar persentase tertentu dari akun piutang pajak berdasarkan penggolongan kualitas piutang pajak.
  3. Kualitas Piutang Pajak adalah hampiran atas ketertagihan piutang pajak yang diukur berdasarkan kepatuhan membayar kewajiban oleh Penanggung Pajak.
  4. Laporan Keuangan adalah bentuk pertanggungjawaban pemerintah atas pelaksanaan APBN berupa Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Neraca, Laporan Arus Kas (LAK) dan Catatan atas Laporan Keuangan.
  5. Tanggal Laporan Keuangan adalah tanggal 30 Juni untuk penyusunan Laporan Keuangan Semesteran atau tanggal 31 Desember untuk penyusunan Laporan Keuangan Tahunan.
  6. Barang adalah tiap benda atau hak yang dapat dijadikan jaminan piutang pajak.
  7. Barang Sitaan adalah barang Penanggung Pajak yang dijadikan jaminan piutang pajak sesuai dengan hasil penyitaan yang dilakukan oleh Jurusita Pajak.
  8. Agunan adalah barang yang diserahkan oleh Wajib Pajak sebagai jaminan dalam rangka permohonan angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
  9. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.


Pasal 2

(1) untuk tujuan penyusunan Laporan Keuangan, Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib melakukan penilaian atas Kualitas Piutang Pajak berdasarkan kondisi Piutang Pajak pada Tanggal Laporan Keuangan untuk membentuk Penyisihan Piutang Pajak Tidak Tertagih.
(2) Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib memantau dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan agar Piutang Pajak yang telah disisihkan senantiasa dapat direalisasikan.


Pasal 3

(1) Kualitas Piutang Pajak digolongkan menjadi kualitas lancar, kualitas kurang lancar, kualitas diragukan dan kualitas macet.
(2) Piutang Pajak digolongkan dalam kualitas lancar apabila:
  1. belum jatuh tempo;    
  2. telah jatuh tempo tetapi belum diberitahukan Surat Paksa; atau
  3. telah diterbitkan Surat Keputusan Persetujuan Angsuran/Penundaan Pembayaran Pajak dan belum melewati batas waktu angsuran/penundaan dalam surat keputusan tersebut.
(3) Piutang Pajak digolongkan dalam kualitas kurang lancar apabila:
  1. telah diterbitkan Surat Keputusan Persetujuan Angsuran/Penundaan Pembayaran Pajak tetapi telah melewati batas waktu angsuran/penundaan dalam surat keputusan tersebut;
  2. telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus;
  3. telah diberitahukan Surat Paksa; atau
  4. telah dilaksanakan penyitaan dengan jumlah keseluruhan nilai Barang Sitaan yang tercantum dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita lebih dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah keseluruhan piutang pajak yang menjadi dasar penyitaan yang tercantum dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita.
(4) Piutang Pajak digolongkan dalam kualitas diragukan apabila:
  1. telah dilaksanakan penyitaan dengan jumlah keseluruhan nilai Barang Sitaan yang tercantum dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita sampai dengan 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah keseluruhan piutang pajak yang menjadi dasar penyitaan yang tercantum dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita;
  2. sedang diajukan keberatan atau banding;
  3. Wajib Pajak Non Efektif (NE);
  4. hak penagihannya belum daluwarsa tetapi memenuhi syarat untuk dihapuskan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan belum diusulkan untuk dihapuskan.
(5) Piutang Pajak digolongkan dalam kualitas macet apabila:
  1. hak penagihannya telah daluwarsa; atau
  2. hak penagihannya belum daluwarsa tetapi memenuhi syarat untuk dihapuskan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang perpajakan dan telah diusulkan untuk dihapuskan.
(6) Dalam hal Piutang Pajak yang tercantum dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita terdiri lebih dari satu dasar penagihan pajak, terhadap Piutang Pajak yang tercantum dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita tersebut berlaku Kualitas Piutang Pajak yang sama.


Pasal 4

(1) Penyisihan Piutang Pajak Tidak Tertagih ditetapkan sebesar:
  1. 5‰ (lima permil) dari piutang pajak dengan kualitas lancar;
  2. 10% (sepuluh persen) dari Piutang Pajak dengan kualitas kurang lancar setelah dikurangi dengan nilai Agunan atau dengan nilai Barang Sitaan;
  3. 50% (lima puluh persen) dari Piutang Pajak dengan kualitas diragukan setelah dikurangi dengan nilai Agunan atau dengan nilai Barang Sitaan; dan
  4. 100% (seratus persen) dari Piutang Pajak dengan kualitas macet setelah dikurangi dengan nilai Agunan atau dengan nilai Barang Sitaan.
(2) Agunan atau Barang sitaan yang mempunyai nilai di atas Piutang Pajak diperhitungkan sama dengan sisa Piutang Pajak.
(3) Nilai Agunan yang diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan Penyisihan Piutang Pajak Tidak Tertagih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar:
  1. 100% (seratus persen) dari Agunan berupa surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, surat berharga negara, garansi bank, tabungan dan deposito yang diblokir pada bank, emas dan logam mulia;
  2. 80% (delapan puluh persen) dari nilai hak tanggungan atas tanah bersertifikat hak milik (HM) atau hak guna bangunan (HGB) berikut bangunan di atasnya;
  3. 60% (enam puluh persen) dari Nilai Jual Objek Pajak atas tanah bersertifikat hak milik (HM), hak guna bangunan (HGB), atau hak pakai, berikut bangunan di atasnya yang tidak diikat dengan hak tanggungan;
  4. 50% (lima puluh persen) dari Nilai Jual Objek Pajak atas tanah dengan bukti kepemilikan bukti kepemilikan berupa Surat Girik (letter C) atau bukti kepemilikan non sertifikat lainnya yang dilampiri Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) terakhir;
  5. 50% (lima puluh persen) dari nilai hipotik atas pesawat udara dan kapal laut dengan isi kotor paling sedikit 20 (dua puluh) meter kubik;
  6. 50% (lima puluh persen) dari nilai jaminan fidusia atas kendaraan bermotor; dan
  7. 50% (lima puluh persen) dari nilai atas pesawat udara, kapal laut, dan kendaraan bermotor yang tidak diikat sesuai ketentuan yang berlaku dan disertai bukti kepemilikan.
(4) Nilai Barang Sitaan yang diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan Penyisihan Piutang Pajak Tidak Tertagih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar.
  1. 100% (seratus persen) dari Agunan berupa surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, surat berharga negara, garansi bank, tabungan dan deposito yang diblokir pada bank, emas dan logam mulia;
  2. 60% (enam puluh persen) dari Nilai Jual Objek Pajak atas tanah bersertifikat hak milik (HM), hak guna bangunan (HGB), atau hak pakai, berikut bangunan di atasnya;
  3. 50% (lima puluh persen) dari Nilai Jual Objek Pajak atas tanah dengan bukti kepemilikan bukti kepemilikan berupa Surat Girik (letter C) atau bukti kepemilikan non sertifikat lainnya yang dilampiri Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) terakhir; dan
  4. 50% (lima puluh persen) dari nilai atas pesawat udara, kapal laut, dan kendaraan bermotor yang disertai bukti kepemilikan.
(5) Agunan selain yang dimaksud pada ayat (3) dapat diperhitungkan sebagai faktor pengurang dalam pembentukan Penyisihan Piutang Pajak Tidak Tertagih setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan.
(6) Barang sitaan selain yang dimaksud pada ayat (4) tidak diperhitungkan sebagai faktor pengurang dalam pembentukan Penyisihan Piutang Pajak Tidak Tertagih.


Pasal 5

(1) Nilai agunan atau Barang Sitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf g dan Pasal 4 ayat (4) huruf d bersumber dari nilai yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.
(2) Dalam hal sumber nilai Agunan atau Barang Sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperoleh, Agunan atau Barang Sitaan tidak diperhitungkan sebagai faktor pengurang Penyisihan Piutang Pajak Tidak Tertagih.


Pasal 6

(1) Pembentukan Penyisihan Piutang Pajak Tidak Tertagih disajikan per jenis pajak.
(2) Nilai Agunan atau Barang Sitaan dikurangkan dari masing-masing dasar penagihan pajak secara proporsional.


Pasal 7

Cara penghitungan Penyisihan Piutang Pajak Tidak Tertagih adalah sebagaimana ditetapkan dalam lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.


Pasal 8

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku maka tata cara penggolongan kualitas piutang pajak dan cara penghitungan penyisihan piutang pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 9

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku untuk penyusunan Laporan Keuangan Tahunan Tahun Anggaran 2011.

Lelang

Undang-undang Nomor 19 TAHUN 2000
PP No 136 TAHUN 2000

 
Apa yang dimaksud dengan lelang?
Setiap penjualan barang di muka umum dengan cara penawaran harga secara lisan atau tertulis melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli.


Bagaimana pelaksanaan lelang?
1. Penjualan secara lelang dilakukan melalui Kantor Lelang dan dilaksanakan paling cepat setelah jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak pengumuman lelang.
2. Pengumuman lelang dilaksanakan paling cepat setelah jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak penyitaan.
3. Pejabat bertindak sebagai penjual atas barang yang disita mengajukan permintaan lelang kepada Kantor Lelang sebelum lelang dilaksanakan.
4. Pejabat atau yang mewakilinya menghadiri pelaksanaan lelang untuk menentukan dilepas atau tidaknya barang yang dilelang dan menandatangani asli risalah Lelang.
5. Lelang tetap dapat dilaksanakan walaupun keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak belum memperoleh keputusan keberatan.
6. Lelang tetap dapat dilaksanakan tanpa dihadiri oleh Penanggung Pajak.
7. Bila hasil lelang sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi biaya penagihan dan utang pajak, pelaksanaan lelang dihentikan walaupun barang yang akan dilelang masih ada.
8. Pejabat dan Jurusita Pajak termasuk istri, keluarga sedarah dan semenda dalam keturunan garis lurus, dan anak angkatnya tidak diperbolehkan membeli barang sitaan yang dilelang.
9. Hak Penanggung Pajak atas barang yang telah dilelang berpindah kepada pembeli dan kepadanya diberikan Risalah Lelang yang merupakan bukti otentik sebagai dasar pendaftaran dan pengalihan hak.


Apa yang dilakukan terhadap hasil lelang barang yang disita?
Hasil lelang dipergunakan terlebih dahulu untuk membayar biaya penagihan yang belum dibayar dan sisanya untuk membayar utang pajak.
Sisa barang beserta kelebihan uang hasil lelang dikembalikan oleh Pejabat kepada Penanggung Pajak segera setelah pelaksanaan lelang.
 
Bilamana lelang tidak dilaksanakan?
Lelang tidak dilaksanakan apabila:
1. Penanggung Pajak telah melunasi utang pajak dan biaya penagihan , atau
2. berdasarkan putusan pengadilan atau putusan Badan Peradilan Pajak yang mengabulkan gugatan Penanggung Pajak; atau
3. objek lelang musnah (karena keaadaan di luar kuasanya/force majeur).

Barang-barang apa yang dikecualikan dari penjualan secara lelang?
1. uang tunai,  
2. kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank seperti deposito berjangka, tabungan, saldo rekening , giro atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu,  
3. obligasi,  
4. saham,  
5. piutang,  
6. penyertaan modal dan surat berharga lainnya, dan  
7. barang yang mudah rusak atau cepat busuk.  

Kapan dilakukan penjualan, penggunaan, dan atau pemindahbukuan barang sitaan yang dikecualikan dari penjualan secara lelang?
Apabila Penanggung Pajak tidak melunasi utang dan biaya penagihan setelah 14 (empat belas) hari sejak penyitaan.

Berapa besarnya tambahan Biaya Penagihan Pajak yang dibayar oleh Penanggung Pajak dalam hal barang yang disita dijual secara lelang dan dijual tidak secara lelang?
1. Untuk barang yang disita dijual secara lelang sebesar 1% (satu persen) dari pokok lelang
2. Untuk barang yang disita dijual tidak secara lelang sebesar 1% (satu persen) dari hasil penjualan.

Siapa yang menanggung biaya pembatalan lelang?
Negara
          

Siapa yang menanggung biaya pembatalan lelang?
Negara

Penyitaan

Undang-undang Nomor 19 TAHUN 2000
PP No 135 TAHUN 2000
561/KMK.04/2000
  1. Definisi
    Tindakan Jurusita Pajak untuk menguasai barang Penanggung Pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  2. Dasar
    Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan
  3. Objek Sita
    Apa yang dimaksud dengan objek sita?
    Barang Penanggung Pajak yang dapat dijadikan jaminan utang pajak

    Apa yang menjadi objek sita?
    Barang milik Penanggung Pajak yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau di tempat lain, termasuk yang penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang dijaminkan sebagai pelunasan utang tertentu yang dapat berupa:
    1. Barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai dan deposito berjangka, tabungan, saldo rekening, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi saham atau surat berharga lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan lain;
    2. Barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, kapal, dengan isi kotor tertentu.

      Dalam hal Wajib Pajak badan, maka yang menjadi objek sita adalah aset Penanggung Pajak. Apabila nilai aset tidak mencukupi untuk melunasi utang pajak, maka penyitaan dapat dilakukan terhadap aset Penanggung Pajak lainnya yaitu pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, baik di tempat kedudukan yang bersangkutan, tempat tinggal mereka maupun di tempat lain
Kepada siapa barang yang telah disita dititipkan?
    1. Kepada Penanggung Pajak; atau
    2. Di kantor Pejabat atau di tempat lain (antara lain Kantor Pegadaian atau Kantor Pos), berdasarkan pertimbangan Jurusita Pajak; atau
    3. Kepada aparat Pemerintah Daerah setempat yang menjadi saksi dalam pelaksanaan sita, dalam hal penyitaan tidak dihadiri oleh Penanggung Pajak.  
Siapakah yang bertanggung jawab terhadap keamanan barang yang disita?
Pihak yang dititipi barang yang disita.  
  1. Bukan Objek Sita
    Barang-barang apa yang dikecualikan dari penyitaan?
    Barang bergerak milik Penanggung Pajak yang berupa :
    1. Pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya;
    2. Persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta peralatan masak yang berada di rumah;
    3. Perlengkapan Penanggung Pajak yang bersifat dinas yang diperoleh dari negara;
    4. Buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan Penanggung Pajak dan alat-alat yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan dan keilmuan;
    5. Peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp10.000.000 (sepuluh juta rupiah); dan 6. Peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya.
  2. Penanggung Pajak Tidak Hadir
    Bagaimana apabila penyitaan tidak dihadiri oleh Penanggung Pajak?
    Penyitaan tetap dapat dilaksanakan dengan syarat salah satu saksi harus berasal dari Pemerintah Daerah setempat, sekurang-kurangnya setingkat Sekretaris Kelurahan atau Sekretaris Desa, dan Berita Acara Pelaksanaan Sita tersebut ditandangani oleh Jurusita Pajak dan saksi-saksi.
  3. Berita Acara Sita
    Dimana salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita dapat ditempelkan?
    Salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita dapat ditempelkan pada barang bergerak atau barang tidak bergerak yang disita, atau ditempat barang bergerak atau barang tidak bergerak yang disita berada, atau di tempat-tempat umum.

    Bagaimana apabila Penanggung Pajak menolak untuk menandatangani Berita Acara Pelaksanaan Sita?
    Dalam hal Penanggung Pajak menolak untuk menandatangani Berita Acara Pelaksanaan Sita, Jurusita Pajak harus mencantumkan penolakan tersebut dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita, dan Berita Acara Pelaksanaan tersebut ditandangani oleh Jurusita Pajak dan saksi-saksi. Berita Acara Pelaksanaan Sita tersebut tetap sah dan mempunyai kekuatan mengikat.
  4. Segel Sita
    Apa isi segel sita?
    1. Segel sita memuat sekurang-kurangnya : - kata "DISITA"; - nomor dan tanggal Berita Acara Pelaksanaan Sita - larangan untuk memindahtangankan, memindahkan hak, meminjamkan, merusak barang yang disita.
    2. Tanggungan untuk pelunasan utang tertentu.
    3. Membebani barang bergerak yang telah disita dengan fidusia atau diagunkan untuk pelunasan utang tertentu
    4. Merusak, mencabut, atau menghilangkan salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita atau segel sita yang telah ditempel pada barang sitaan.
    Dimana Segel Sita dapat ditempelkan?
    Undang-undang memungkinkan Jurusita Pajak untuk menempelkan Segel Sita atas barang yang disita.
  5. Penyitaan Tambahan
    Dalam hal bagaimana penyitaan tambahan terhadap barang milik Penanggung Pajak dapat dilakukan?
    Apabila hasil penjualan barang yang disita tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan dan utang

    Bagaimana tata cara pelaksanaan penyitaan tambahan?
    Dengan menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan yang baru, dan selanjutnya diikuti dengan prosedur penyitaan.
  6. Biaya
    Berapa besarnya biaya penagihan untuk setiap Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP)?
    Rp100.000 (seratus ribu rupiah).
  7. Pemblokiran
    Apa yang dimaksud dengan pemblokiran? Tindakan pengamanan harta kekayaan milik Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dengan tujuan agar terhadap harta kekayaan dimaksud tidak terdapat perubahan apapun, selain penambahan jumlah atau nilai.

    Penyitaan terhadap apa yang harus dilakukan pemblokiran terlebih dahulu? Penyitaan terhadap deposito berjangka, tabungan, saldo rekening, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dilaksanakan dengan pemblokiran terlebih dahulu.

    Kapan Pejabat diwajibkan mengajukan permohonan pemblokiran atas rekening Penanggung Pajak? Segera setelah diterbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.

    Siapa yang melaksanakan pemblokiran dan kapan dilaksanakannya? Pimpinan Bank, yang dilaksanakan seketika setelah menerima permohonan pemblokiran dari Pejabat dan membuat Berita Acara serta menyampaikan salinannya kepada Kepala KPP/KP PBB dan Penanggung Pajak

    Bagaimana tindak lanjut tindakan penagihan setelah dilakukan pemblokiran?
    1. Apabila utang pajak dan biaya penagihan telah dibayar, Kepala KPP/KPPBB segera memberi tahu bank untuk membuka rekening yang telah diblokir;
    2. Apabila utang pajak dan biaya penagihan tidak dibayar, atas rekening yang telah diblokir tersebut dilakukan penyitaan;
    3. Apabila dalam kurun waktu 14 hari setelah dilakukan penyitaan, utang pajak dan biaya penagihan tidak dibayar, atas rekening yang telah disita tersebut dipindahbukukan ke Kas Negara sebagai pembayaran utang pajak dan biaya penagihan.
    Bagaimana tata cara pemblokiran dan penyitaan rekening?
    1. Pejabat menyampaikan surat permohonan pemblokiran kepada pimpinan bank dengan dilampiri Surat Paksa dan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan;
    2. Pimpinan bank, seketika setelah menerima permohonan pemblokiran dari Pejabat membuat Berita Acara serta menyampaikan salinannya kepada Kepala KPP/KP PBB dan Penanggung Pajak.
    3. Jurusita Pajak setelah menerima Berita Acara Pemblokiran memerintahkan kepada Penanggung Pajak untuk memberi kuasa kepada bank agar memberitahukan saldo kekayaannya yang tersimpan pada bank tersebut;
    4. Dalam hal Penanggung Pajak tidak memberikan kuasa kepada bank, pejabat meminta gubernur BI melalui Menteri Keuangan untuk memerintahkan bank memberitahukan saldo kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank.
    5. Setelah saldo kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank di ketahui Jurusita Pajak melaksanakan penyitaan;
    6. Jurusita Pajak membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita dan ditandatangani Jurusita Pajak, saksi-saksi dan pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk.
    7. Jurusita Pajak menyampaikan salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita kepada Penanggung Pajak dan pimpinan bank bersangkutan.
    Apa yang dilakukan setelah pemblokiran dan penyitaan rekening Penanggung Pajak apabila utang pajak dan biaya penagihan tidak dibayar? Dalam kurun waktu 14 hari setelah dilakukan penyitaan rekening, utang pajak dan biaya penagihan tidak dibayar, rekening yang telah disita tersebut dipindahbukukan ke Kas Negara sebagai pembayaran utang pajak dan biaya penagihan

  8. Sanggahan
    Apakah pihak ketiga dapat mengajukan sanggahan terhadap kepemilikan barang yang disita kepada Pengadilan Negeri?
    Pihak ketiga dapat mengajukan sanggahan terhadap kepemilikan barang yang disita kepada Pengadilan Negeri

    Apakah pihak ketiga dapat mengajukan sanggahan terhadap kepemilikan barang yang disita kepada Pengadilan Negeri?
    Pihak ketiga dapat mengajukan sanggahan terhadap kepemilikan barang yang disita kepada Pengadilan Negeri Dalam hal bagaimana sanggahan oleh pihak ketiga tidak dapat dilakukan? Sanggahan Pihak ketiga terhadap kepemilikan barang yang disita tidak dapat diajukan setelah lelang dilaksanakan.
  9. Keberatan
    Apakah pengajuan keberatan dapat menunda pelaksanaan penyitaan? Pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak tidak menunda pelaksanaan penagihan pajak.
  10. Belum Lunas
    Tindakan apakah yang akan dilakukan apabila utang pajak dan atau biaya penagihan belum dilunasi setelah dilaksanakan penyitaan? Dalam hal penyitaan dilaksanakan atas barang bergerak dan barang tidak bergerak, akan ditindaklanjuti dengan penjualan secara lelang. Dalam hal penyitaan dilaksanakan atas rekening bank Penanggung Pajak, akan ditindaklanjuti dengan memindahbukukan rekening yang telah disita tersebut ke Kas Negara.

Penagihan Pajak

Penagihan Pajak adalah tindakan penagihan terhadap wajib pajak (WP) apabila utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran belum dilunasi.

Langkah-langkah

Langkah-langkah penagihan penagihan pajak adalah sebagai berikut:
  1. Surat Teguran.
    Utang pajak yang tidak dilunasi setelah lewat tujuh hari dari tanggal jatuh tempo pembayaran, akan diterbitkan Surat Teguran Pajak.
  2. Surat Paksa.
    Utang pajak setelah lewat 21 hari dari tanggal Surat Teguran tidak dilunasi, diterbitkan Surat Paksa yang diberitahukan oleh Jurusita Pajak dengan dibebani biaya penagihan pajak dengan Surat Paksa sebesar Rp 50.000. Utang pajak harus dilunasi dalam jangka waktu 2 x 24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak.
  3. Surat Sita.
    Utang pajak dalam jangka waktu 2 x 24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak tidak dilunasi, Jurusita Pajak dapat melakukan tindakan penyitaan, dengan dibebani biaya pelaksanaan Surat Perintah Melakukan Penyitaan sebesar Rp 100.000.
  4. Lelang
    Dalam jangka waktu paling singkat empat belas hari setelah tindakan penyitaan, utang pajak belum juga dilunasi akan dilanjutkan dengan pengumuman lelang melalui media massa. Penjualan secara lelang melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) terhadap barang yang disita, dilaksanakan paling singkat empat belas hari setelah pengumuman lelang. Dalam hal biaya penagihan paksa dan biaya pelaksanaan sita belum dibayar maka akan dibebankan bersama-sama dengan biaya iklan untuk pengumuman lelang dalam surat kabar dan biaya lelang pada saat pelelangan.
    Catatan: Barang dengan nilai paling banyak Rp 20.000.000 tidak harus diumumkan melalui media massa.

Hak Wajib Pajak/Penanggung Pajak

Wajib Pajak/Penanggung Pajak berhak untuk:
  1. Meminta Jurusita Pajak memperlihatkan Kartu Tanda Pengenal Jurusita Pajak.
  2. Menerima Salinan Surat Paksa dan Salinan Berita Acara Penyitaan.
  3. Menentukan urutan barang yang akan dilelang.
  4. Diberi kesempatan terakhir sebelum pelaksanaan lelang untuk melunasi utang pajak termasuk biaya penyitaan, iklan, dan biaya pembatalan lelang, dan melaporkan pelunasan tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang bersangkutan.
Lelang tidak dilaksanakan apabila Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak sebelum pelaksanaan lelang.

Kewajiban Wajib Pajak/Penanggung Pajak

  1. Membantu Jurusita Pajak dalam melaksanakan tugasnya:
    • memperbolehkan Jurusita Pajak memasuki ruangan, tempat usaha/tempat tinggal Wajib Pajak/Penanggung Pajak;
    • memberikan keterangan lisan atau tertulis yang diperlukan.
  2. Barang yang disita dilarang dipindahtangankan, dihipotikkan atau disewakan.

Daluwarsa Penagihan

  1. Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa (daluarsa) setelah lampau waktu lima tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding Pajak, serta Putusan Peninjauan Kembali.
  2. Daluwarsa penagihan pajak tertangguh (tertunda) apabila:
    1. diterbitkan Surat Paksa;
    2. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung;
    3. diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan karena Wajib Pajak setelah jangka waktu lima tahun tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada Pendapatan Negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
    4. Dilakukan penyidikan pajak.