Sabtu, 25 Agustus 2012

UU KUP VERSUS UU PPN TERKAIT BATAS WAKTU PEMBAYARAN DAN PELAPORAN PPN


Pajak diartikan secara sederhana adalah iuran wajib yang dibayar oleh rakyat sebagai sumbangan kepada negara yang bisa dipaksakan. Namun, dalam pelaksanaannya pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang, dengan demikian setiap pemungutan pajak harus berdasarkan hukum. Artinya, pemungutan pajak tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang. Ketentuan ini diatur secara tegas dalam Pasal 23A Amandemen ke empat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang mengatur bahwa “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan undang-undang”. Sementara itu, yang dimaksud dengan hukum pajak adalah himpunan atau kumpulan peraturan perundang-undangan yang mengatur hubungan antara pemerintah dan masyarakat Wajib Pajak. Sebagai bagian dari hukum, hukum pajak pada intinya mengatur ruang lingkup mengenai hak dan kewajiban baik bagi Wajib Pajak maupun bagi petugas pajak, sanksi administratif maupun sanksi pidana atas setiap pelanggaran kewajiban. Mengingat hukum pajak adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemerintah dan masyarakat Wajib Pajak maka hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik. Namun, sesungguhnya hukum pajak juga tidak bisa terlepas dari hukum lainnya seperti hukum administrasi negara, hukum perdata, dan hukum pidana. Dalam hukum pajak diatur mengenai pemungutan pajak dalam peristiwa jual beli, sewa menyewa, hibah, yang merupakan bagian dari hukum perdata, demikian pula ketentuan mengenai pidana yang erat kaitannya dengan hukum pidana.
 Untuk menyusun suatu ketentuan hukum harus memenuhi prinsip keadilan, syarat ekonomi, syarat keuangan, dan syarat praktis pelaksanaannya. Syarat pertama, prinsip keadilan, Prof. Subekti, S.H dalam bukunya “Dasar-Dasar Hukum dan Pengadilan” menyatakan bahwa sesungguhnya hukum itu mengabdi pada tujuan negara yang pada pokoknya mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya. Dengan demikian, hukum harus tunduk pada tujuan negara yang mempunyai tugas untuk menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran bagi rakyat. Frasa “mengabdi” membawa konsekuensi bahwa hukum harus menciptakan keadilan dan ketertiban yang pada akhirnya akan menciptakan kesejahteraan pada masyarakat.
Kata keadilan berasal dari kata dasar adil. Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata adil diartikan sebagai:
1) tidak berat sebelah (tidak memihak)
2) sepatutnya; tidak sewenang-wenang,
sedangkan kata keadilan itu sendiri diartikan sebagai: sifat (perbuatan, perlakuan dsb) yang adil atau keadaan yang adil bagi kehidupan di masyarakat. Selanjutnya, Prof. Subekti menyatakan kata keadilan mengandung unsur “penghargaan”, “penilaian”, atau “pertimbangan” dan karenanya lazim dilambangkan suatu neraca keadilan. Singkatnya, dapat dikatakan bahwa keadilan menuntut keadaan dan bagian yang sama bagi tiap orang. Bahkan Prof. Subekti menyatakan secara lebih mendalam bahwa asal keadilan itu dari Tuhan Yang Maha Esa, namun sebagai seorang manusia diberi kecakapan atau kemampuan untuk merasakan keadaan yang dinamakan adil itu. Dengan demikian, hukum tidak saja harus mencarikan keseimbangan antara pelbagai kepentingan yang bertentangan satu sama lain, namun hukum juga harus memberikan keseimbangan antara tuntutan keadilan dengan tuntutan “ketertiban” atau “kepastian hukum”.
Syarat berikutnya yang harus dipenuhi dalam suatu peraturan perundang-undangan adalah syarat ekonomis dan syarat keuangan. Hukum pajak harus mengatur adanya suatu ketentuan yang bisa dipaksakan oleh Negara kepada Wajib Pajak untuk memungut pajak.  Pajak yang telah dipungut dan dikumpulkan tersebut, oleh Negara lebih lanjut akan didistribusikan kepada masyarakat untuk kemudian digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Semakin optimalnya pemungutan pajak dilakukan oleh negara diharapkan dapat makin meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang selanjutnya juga akan mendukung penerimaan pajak di negara tersebut. Siklus ini secara singkat dapat dikatakan sebagai suatu siklus pajak.
Syarat terakhir untuk menyusun ketentuan hukum adalah syarat praktis. Praktis menurut kamus besar bahasa Indonesia artinya mudah dan senang memakainya (menjalankannya), sehingga hukum pajak juga harus mudah dipahami dan mudah dilaksanakan. Artinya baik masyarakat Wajib Pajak maupun petugas pajak akan senang menjalankan hukum pajak tersebut mengingat begitu mudahnya hukum pajak dilaksanakan.
Berdasarkan uraian di atas, suatu ketentuan hukum idealnya harus menciptakan keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat. Namun hal demikian tidaklah mungkin terjadi mengingat ketentuan hukum dibuat oleh manusia yang memiliki kelemahan dan memiliki perbedaan antara satu kepentingan dan kepentingan yang lain. Tulisan ini akan menguraikan mengenai ketentuan penyetoran dan pelaporan PPN yang secara kontradiksi diatur secara berbeda antara Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
Pembayaran dan pelaporan pajak merupakan kewajiban Wajib Pajak dan ketentuan formal tentang hal tersebut selama ini diatur dalam UU KUP. Sebelum tanggal 1 April 2010, ketentuan pembayaran PPN dan PPnBM diatur dalam Pasal 9 ayat (1) UU KUP juncto Pasal 2 ayat (15) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 yaitu: “PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang dalam satu Masa Pajak, harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir”. Selanjutnya, ketentuan mengenai kewajiban melaporkan pajak yang terutang diatur dalam Pasal 3 ayat (3) UU KUP yaitu “batas  waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak.”
Sementara setelah berlakunya UU PPN Nomor 42 Tahun 2009 tanggal 1 April 2010 dalam Pasal 15A diatur:
  1. Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai oleh Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 9 ayat (3) harus dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan.
  2. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.
Dengan demikian, sesuai UU KUP diatur bahwa PPN yang terutang dalam satu Masa Pajak, harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan PPN dan/atau PPnBM yang terutang dilaporkan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak. Di bawah ini akan dibuatkan ilustrasi mengenai ketentuan tersebut, misalnya:
Sdr. Martini (seorang Pengusaha Kena Pajak) pada tanggal 5 Agustus 2009 melakukan penyerahan Barang Kena Pajak sebesar Rp10.000.000,00 maka PPN sebesar Rp1.000.000,00 harus disetorkan paling lama tanggal 15 September 2009 berdasarkan Pasal 9 ayat (1) UUKUP dan harus dilaporkan dalam SPT Masa Agustus 2009 paling lama tanggal 20 September 2009 sesuai Pasal 3 ayat (3) huruf a UU KUP.
Dengan berlakunya UU PPN pada tanggal 1 April 2010, terjadi perubahan yang signifikan, terkait penyetoran dan pelaporan PPN, yaitu:
  1. Terjadi perubahan batas waktu penyetoran dan pelaporan PPN.
  2. Ketentuan penyetoran dan pelaporan PPN selama ini diatur dalam UU KUP (sebagai hukum pajak formil) dipindahkan ke dalam UU PPN (hukum pajak materiil),
Dengan demikian, apabila Sdr. Martini melakukan penyerahan Barang Kena Pajak tanggal 9 Agustus 2010 sebesar Rp10.000.000,00 maka PPN sebesar Rp1.000.000,00 harus disetor dan dilaporkan pada tanggal 30 September 2010.
Pergeseran waktu mengenai kewajiban menyetorkan PPN sesuai UU PPN tersebut, menguntungkan posisi Wajib Pajak dari segi cash flow yaitu terjadi kelonggaran waktu, namun sayang pembentuk undang-undang tidak mencantumkan alasan penggeseran waktu tersebut. Menurut Penulis, penggeseran waktu tersebut sesungguhnya merugikan negara, karena negara harus menunggu penyetoran PPN 1 (satu) bulan kemudian setelah penyerahan Barang Kena Pajak dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak, tidak seperti ketentuan semula.
Sesungguhnya, ketentuan mengenai  tata cara pembayaran, pelaporan pajak serta sanksi atas pelanggaran kewajiban tersebut selama ini diatur dalam hukum pajak formil yaitu UU KUP. Dengan adanya perubahan terkait berlakunya UU PPN pada 1 April 2010 maka batas waktu penyetoran dan pelaporan PPN diatur dalam UU PPN. Namun, pemberian sanksi atas pelanggaran batas waktu penyetoran dan pelaporannya diatur dalam UU KUP.  Seharusnya, pembentuk undang-undang konsisten mengatur ketentuan hukum pajak formil dalam UU KUP, karena ketentuan mengenai tata cara pembayaran, pelaporan pajak serta sanksi terhadap keterlambatan selama ini diatur dalam UU KUP agar syarat praktis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan menjadi terpenuhi.
Batas waktu pembayaran dan pelaporan PPN menurut UU KUP diatur oleh Menteri Keuangan, sementara UU PPN mengatur dalam batang tubuhnya mengenai batas waktu pembayaran dan pelaporan PPN. Artinya, UU PPN tidak memberikan pendelegasian kewenangan pengaturan ketentuan tersebut ke peraturan perundang-undangan di bawahnya seperti Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri Keuangan.  Dengan demikian, apabila ada “niat” dari pembentuk undang-undang untuk mengubah ketentuan mengenai batas waktu pembayaran dan pelaporan PPN harus melalui amandemen undang-undang. Namun, apabila merujuk pada UU KUP, perubahan terkait batas waktu penyetoran dan pelaporan PPN berikut sanksinya dapat dilakukan dengan cara mengubah Peraturan Menteri Keuangan terkait, yang tentu lebih sederhana dan singkat dibandingkan mengamandemen undang-undang.
Mengingat ketentuan penyetoran dan pelaporan PPN dalam kedua undang-undang tersebut masih berlaku, timbul suatu pertanyaan ketentuan mana yang mengikat bagi Wajib Pajak maupun petugas pajak?
Berdasarkan ilmu perundang-undangan dinyatakan bahwa apabila suatu materi yang diatur dalam suatu undang-undang, kemudian diatur kembali dalam undang-undang baru maka ketentuan yang diganti baru tersebut dengan sendirinya tidak berlaku lagi sejak saat mulai berlakunya undang-undang yang baru. Mengenai berlakunya undang-undang, dikenal beberapa asas, antara lain:
  1. Undang-undang yang bersifat khusus mengenyampingkan undang-undang yang bersifat umum (lex specialis derogate lex generalis).
  2. Undang-undang yang berlaku kemudian, meniadakan undang-undang yang dahulu (lex posterior derogate lege priori), artinya suatu materi yang telah diatur dalam suatu undang-undang, kemudian materi itu diatur kembali dalam undang-undang yang baru maka sejak saat mulai berlakunya undang-undang baru itu ketentuan dahulu yang mengatur materi yang sama tidak berlaku lagi.
Berkaitan dengan asas tersebut maka untuk mengadakan suatu undang-undang baru mengatur suatu materi yang telah diatur dalam suatu undang-undang, tidak perlu meniadakan terlebih dahulu materi yang sudah ada tersebut, karena ketentuan yang sudah ada itu tidak berlaku lagi sejak saat mulai berlakunya ketentuan yang baru.
Namun demikian, mengingat tidak semua orang mengenal adagium tersebut, untuk menghilangkan kemungkinan timbulnya keraguan dan untuk menambah kepastian hukum, bagi pelaksana ketentuan hukum sepatutnya pembentuk undang-undang perlu menyatakan untuk meniadakan ketentuan lama tersebut. Sebagai kesimpulan, dengan berlakunya UU PPN yang baru maka untuk kepastian hukum dan keadilan dalam menyelesaikan ketentuan penyetoran dan pelaporan PPN setelah 1 April 2010, berlakulah asas lex specialis derogate legi generalis atau  lex posterior derogate lege priori. Artinya ketentuan batas waktu penyetoran dan pelaporan PPN yang berlaku adalah UU PPN (sebagai lex specialis atau lex posterior), bukan UU KUP.  Khusus terkait sanksi administratif atas pelanggaran batas waktu pembayaran dan pelaporan pajak maka UU KUP sebagai legi generalis atau lege priori-lah yang berlaku mengingat UU PPN tidak mengatur ketentuan tersebut.

Jumat, 24 Agustus 2012

Pasar Asia Melemah, Rupiah Mungkin Stabil


JAKARTA - Tekanan kembali datang dari bursa global akibat pudarnya spekulasi soal stimulus di Amerika Serikat dan masih tak menentunya masa depan Eropa. Kondisi itu bakal mengimbas ke perdagangan mata uang, termasuk rupiah, Jumat (24/8/2012) ini.

Nlai tukar rupiah ditutup stabil di Rp 9.494 per dollar AS (menurut kurs tengah Bloomberg) pada perdagangan kemarin. Sementara itu sebagian besar bursa Asia ditutup menguat, termasuk bursa Indonesia (IHSG) yang ditutup naik tipis 0,05 persen menjadi 4.162,66.

Sedangkan harga minyak mentah tercatat turun. Harga Brent kemarin tercatat menjadi 115,78 dollar AS per barrel dan harga WTI menjadi 95,97 dollar AS per barrel. Bursa global ditutup turun semalam. Karena hal itu, menurut ekonom Samuel Sekuritas Indonesia, Lana Soelistianingsih, membuat kemungkinan bursa Asia mengikuti pelemahan ini. Ini sekaligus memfaktorkan karena tidak yakin pertemuan pemimpin Uni Eropa (UE) pekan ini bisa mencapai solusi krisis utang.

"Sedangkan untuk rupiah kami perkirakan masih stabil di kisaran antara Rp 9.490-Rp 9.510 per dollar AS pada hari ini," kata Lana.

Pajak Dan Hari Kemenangan


Jakarta Hari Raya Idul Fitri telah tiba, hari kemenangan di mana kita kembali kepada fitrah dan jati diri sebagai hamba Allah SWT yang patuh kepada-Nya. Kembali kepada fitrah berarti kembali kepada naluri kemanusiaan yang bersih dan kembali dari segala kepentingan duniawi.

Idul Fitri harus menjadi ajang tasyakur, refleksi diri untuk kembali mendekatkan diri pada Allah SWT. Idul Fitri harus menjadi momen untuk mengasah kepekaan sosial dan melakukan evaluasi diri pada ibadah puasa yang telah dikerjakan. Apakah puasa yang kita lakukan telah memberi makna, atau hanya sekedar puasa menahan lapar dan dahaga saja. Pahala puasa tidak tergantung seberapa jauh kita lapar atau haus melainkan tergantung pada apakah kita menjalankannya dengan iman kepada Allah serta penuh introspeksi atau tidak.

Idul Fitri akan menjadi sempurna apabila kita dapat meningkatkan kesalehan sosial kita yaitu rasa empati terhadap mereka yang kurang beruntung secara ekonomi dan sosial serta berbagi kebahagiaan kepada orang lain. Selama puasa Ramadhan kita diajak merasakan kelaparan, kesusahan dan penderitaan kaum tidak mampu. Oleh sebab itu pada akhir Ramadhan, umat Islam diwajibkan membayarkan zakat fitrah dan zakat mal atau pun membayar shodaqoh.

Agama mengajarkan kepada manusia untuk tolong-menolong dalam kebaikan dan taqwa. Agama juga mengajarkan bahwa dalam harta yang kita miliki terdapat hak fakir miskin, hak orang yang meminta-minta, dan hak orang yang tidak mendapatkan bagian. Terdapat banyak saluran untuk menyampaikan kepedulian sosial kepada sesama. Agama mengajarkannya dalam bentuk zakat, infaq maupun shodaqoh. Saluran lainnya, dalam hal ini diatur oleh negara, adalah dalam bentuk pajak.

Perlu direnungkan bahwa pajak sesungguhnya juga merupakan ibadah kepada Allah demi kemaslahatan bersama. Dalam banyak hal pajak merupakan bentuk aktualisasi strategis dari sedekah atau kesetiakawanan sejati bagi sesama, karena uang pajak dimanfaatkan seluruhnya untuk kepentingan masyarakat. Bagi yang lemah, apa pun agama, keyakinan, dan warna kulitnya, pasti sudah mendapatkan manfaat pajak yang disalurkan dalam bentuk program-program pengentasan kemiskinan seperti Jamkesmas dan Bantuan Sosial.

Selain sebagai sumber pendapatan negara, pajak juga berfungsi untuk mewujudkan keadilan sosial, yaitu dengan cara melakukan distribusi kesejahteraan. Hal ini dilaksanakan dengan menerapkan tarif progresif bagi masyarakat yang berpenghasilan besar dan membebaskan pajak bagi yang kurang mampu. Kemudian uang pajak akan dimanfaatkan dalam prioritas-prioritas anggaran bagi pembangunan yang berpihak kepada kepentingan rakyat.

Dengan semakin banyak rakyat yang membayar pajak dengan benar, semakin banyak uang yang dimanfaatkan untuk pembangunan. Pada akhirnya, semua pihak akan merasakan “kemenangan” seperti halnya kemenangan pribadi di hari yang suci. Masyarakat yang merasakan kemenangan akan menjadikan negaranya maju dan bermartabat seperti yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa.

Mari kita sempurnakan Idul Fitri kita dengan meningkatkan kepedulian sosial terhadap sesama agar kemenangan Idul Fitri dapat dirasakan seluruh umat. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1433 H, mohon maaf lahir dan batin.

Selasa, 19 Juni 2012

Proses Bisnis Utama Perpajakan Indonesia

Secara umum Proses Bisnis Utama dibagi menjadi 12, yaitu :
1.1.       Pendaftaran
1.1.1.  Pendaftaran WP
1.1.2.     PenghapusanNPWP
1.1.3.     Pemindahan WP
1.1.4.     Perubahan Identitas WP
1.1.5.     PengukuhanPKP
1.1.6.     PencabutanPKP
1.1.7.     PemindahanPKP
1.1.8.     PendataanObjekPBB
1.1.9.     Perubahan IdentitasPKP
1.2.       Pembayaran
1.2.1.     Pelaporan Penerimaan
1.2.2.     Pemantauan Penerimaan
1.2.3.2. Restitusi
1.2.4.     Pemindahbukuan
 1.3. Pelaporan
1.5.     Pelayanan
1.5.3. Konsultasi
1.6.     Pengawasan Kepatuhan
1.6.1. Mapping
     1.6.2. Profiling
1.7.     Pemeriksaan
1.7.6. Review
1.7.9. Peer review
1.8.     Penagihan
1.8.4. Penyitaan
1.8.5. Penyanderaan
1.8.6. Lelang
1.8.7. Pencegahan
1.9.3. Keberatan
1.9.8. Penerbitan Surat Keputusan
1.9.9. Gugatan
1.9.14. Evaluasi Putusan Peninjauan Kembali.
1.9.15. Evaluasi Hasil Pembetulan, Pengurangan, Penghapusan dan Pembatalan.
1.10.       Pengamatan dan Penyidikan
1.11.       Ekstensifikasi
1.12.       Penilaian PBB

Pengelolaan Pengurangan Piutang Pajak


  1. Piutang pajak yang dikurangkan adalah piutang pajak yang jumlahnya masih harus ditagih sebagaimana tercantum dalam STP, SKPKB, SKPKBT, yang meliputi pokok pajak kenaikan bunga dan atau denda.
  2. Syarat-syarat piutang pajak yang dikurangkan adalah:
Piutang tersebut tercantum dalam STP, SKPKB, SKPKBT
Sudah dilakukan upaya tindakan penagihan sampai dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Wajib pajak telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan harta warisann tidak mempunyai ahli waris dengan bukti surat keterangan dari instansi yang terkait.
Wajib Pajak tidak dapat ditemukan lagi karena pindah alamat
Wajib Pajak tidak mempunyai kekayaan lagi
Penagihan pajak telah kadaluwarsa.

Penataausahaan Piutang Pajak

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : PER - 02/PJ/2012

TENTANG

PENGGOLONGAN KUALITAS PIUTANG PAJAK DAN CARA
PENGHITUNGAN PENYISIHAN PIUTANG PAJAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang    :

  1. bahwa untuk penyajian aset berupa piutang pajak di neraca dengan nilai bersih yang dapat direalisasikan (net realizable value), perlu membentuk penyisihan piutang pajak tidak tertagih;
  2. bahwa untuk membentuk penyisihan piutang pajak tidak tertagih, perlu menggolongkan kualitas piutang pajak;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 201/PMK.06/2010 tentang Kualitas Piutang Kementerian Negara/Lembaga dan Pembentukan Penyisihan Piutang Tidak Tertagih, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Penggolongan Kualitas Piutang Pajak dan Cara Penghitungan Penyisihan Piutang Pajak;

Mengingat    :

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3686) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3987);
  3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4614);
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4797);
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5165);
  7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 201/PMK.06/2010 tentang Kualitas Piutang Kementerian Negara/Lembaga dan Pembentukan Penyisihan Piutang Tidak Tertagih (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 565);


MEMUTUSKAN:

Menetapkan    :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PENGGOLONGAN KUALITAS PIUTANG PAJAK DAN CARA PENGHITUNGAN PENYISIHAN PIUTANG PAJAK.


Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan:
  1. Piutang Pajak adalah piutang yang timbul atas pendapatan pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang perpajakan, yang belum dilunasi sampai dengan akhir periode laporan.
  2. Penyisihan Piutang Pajak Tidak Tertagih adalah cadangan yang harus dibentuk sebesar persentase tertentu dari akun piutang pajak berdasarkan penggolongan kualitas piutang pajak.
  3. Kualitas Piutang Pajak adalah hampiran atas ketertagihan piutang pajak yang diukur berdasarkan kepatuhan membayar kewajiban oleh Penanggung Pajak.
  4. Laporan Keuangan adalah bentuk pertanggungjawaban pemerintah atas pelaksanaan APBN berupa Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Neraca, Laporan Arus Kas (LAK) dan Catatan atas Laporan Keuangan.
  5. Tanggal Laporan Keuangan adalah tanggal 30 Juni untuk penyusunan Laporan Keuangan Semesteran atau tanggal 31 Desember untuk penyusunan Laporan Keuangan Tahunan.
  6. Barang adalah tiap benda atau hak yang dapat dijadikan jaminan piutang pajak.
  7. Barang Sitaan adalah barang Penanggung Pajak yang dijadikan jaminan piutang pajak sesuai dengan hasil penyitaan yang dilakukan oleh Jurusita Pajak.
  8. Agunan adalah barang yang diserahkan oleh Wajib Pajak sebagai jaminan dalam rangka permohonan angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
  9. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.


Pasal 2

(1) untuk tujuan penyusunan Laporan Keuangan, Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib melakukan penilaian atas Kualitas Piutang Pajak berdasarkan kondisi Piutang Pajak pada Tanggal Laporan Keuangan untuk membentuk Penyisihan Piutang Pajak Tidak Tertagih.
(2) Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib memantau dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan agar Piutang Pajak yang telah disisihkan senantiasa dapat direalisasikan.


Pasal 3

(1) Kualitas Piutang Pajak digolongkan menjadi kualitas lancar, kualitas kurang lancar, kualitas diragukan dan kualitas macet.
(2) Piutang Pajak digolongkan dalam kualitas lancar apabila:
  1. belum jatuh tempo;    
  2. telah jatuh tempo tetapi belum diberitahukan Surat Paksa; atau
  3. telah diterbitkan Surat Keputusan Persetujuan Angsuran/Penundaan Pembayaran Pajak dan belum melewati batas waktu angsuran/penundaan dalam surat keputusan tersebut.
(3) Piutang Pajak digolongkan dalam kualitas kurang lancar apabila:
  1. telah diterbitkan Surat Keputusan Persetujuan Angsuran/Penundaan Pembayaran Pajak tetapi telah melewati batas waktu angsuran/penundaan dalam surat keputusan tersebut;
  2. telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus;
  3. telah diberitahukan Surat Paksa; atau
  4. telah dilaksanakan penyitaan dengan jumlah keseluruhan nilai Barang Sitaan yang tercantum dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita lebih dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah keseluruhan piutang pajak yang menjadi dasar penyitaan yang tercantum dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita.
(4) Piutang Pajak digolongkan dalam kualitas diragukan apabila:
  1. telah dilaksanakan penyitaan dengan jumlah keseluruhan nilai Barang Sitaan yang tercantum dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita sampai dengan 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah keseluruhan piutang pajak yang menjadi dasar penyitaan yang tercantum dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita;
  2. sedang diajukan keberatan atau banding;
  3. Wajib Pajak Non Efektif (NE);
  4. hak penagihannya belum daluwarsa tetapi memenuhi syarat untuk dihapuskan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan belum diusulkan untuk dihapuskan.
(5) Piutang Pajak digolongkan dalam kualitas macet apabila:
  1. hak penagihannya telah daluwarsa; atau
  2. hak penagihannya belum daluwarsa tetapi memenuhi syarat untuk dihapuskan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang perpajakan dan telah diusulkan untuk dihapuskan.
(6) Dalam hal Piutang Pajak yang tercantum dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita terdiri lebih dari satu dasar penagihan pajak, terhadap Piutang Pajak yang tercantum dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita tersebut berlaku Kualitas Piutang Pajak yang sama.


Pasal 4

(1) Penyisihan Piutang Pajak Tidak Tertagih ditetapkan sebesar:
  1. 5‰ (lima permil) dari piutang pajak dengan kualitas lancar;
  2. 10% (sepuluh persen) dari Piutang Pajak dengan kualitas kurang lancar setelah dikurangi dengan nilai Agunan atau dengan nilai Barang Sitaan;
  3. 50% (lima puluh persen) dari Piutang Pajak dengan kualitas diragukan setelah dikurangi dengan nilai Agunan atau dengan nilai Barang Sitaan; dan
  4. 100% (seratus persen) dari Piutang Pajak dengan kualitas macet setelah dikurangi dengan nilai Agunan atau dengan nilai Barang Sitaan.
(2) Agunan atau Barang sitaan yang mempunyai nilai di atas Piutang Pajak diperhitungkan sama dengan sisa Piutang Pajak.
(3) Nilai Agunan yang diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan Penyisihan Piutang Pajak Tidak Tertagih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar:
  1. 100% (seratus persen) dari Agunan berupa surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, surat berharga negara, garansi bank, tabungan dan deposito yang diblokir pada bank, emas dan logam mulia;
  2. 80% (delapan puluh persen) dari nilai hak tanggungan atas tanah bersertifikat hak milik (HM) atau hak guna bangunan (HGB) berikut bangunan di atasnya;
  3. 60% (enam puluh persen) dari Nilai Jual Objek Pajak atas tanah bersertifikat hak milik (HM), hak guna bangunan (HGB), atau hak pakai, berikut bangunan di atasnya yang tidak diikat dengan hak tanggungan;
  4. 50% (lima puluh persen) dari Nilai Jual Objek Pajak atas tanah dengan bukti kepemilikan bukti kepemilikan berupa Surat Girik (letter C) atau bukti kepemilikan non sertifikat lainnya yang dilampiri Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) terakhir;
  5. 50% (lima puluh persen) dari nilai hipotik atas pesawat udara dan kapal laut dengan isi kotor paling sedikit 20 (dua puluh) meter kubik;
  6. 50% (lima puluh persen) dari nilai jaminan fidusia atas kendaraan bermotor; dan
  7. 50% (lima puluh persen) dari nilai atas pesawat udara, kapal laut, dan kendaraan bermotor yang tidak diikat sesuai ketentuan yang berlaku dan disertai bukti kepemilikan.
(4) Nilai Barang Sitaan yang diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan Penyisihan Piutang Pajak Tidak Tertagih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar.
  1. 100% (seratus persen) dari Agunan berupa surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, surat berharga negara, garansi bank, tabungan dan deposito yang diblokir pada bank, emas dan logam mulia;
  2. 60% (enam puluh persen) dari Nilai Jual Objek Pajak atas tanah bersertifikat hak milik (HM), hak guna bangunan (HGB), atau hak pakai, berikut bangunan di atasnya;
  3. 50% (lima puluh persen) dari Nilai Jual Objek Pajak atas tanah dengan bukti kepemilikan bukti kepemilikan berupa Surat Girik (letter C) atau bukti kepemilikan non sertifikat lainnya yang dilampiri Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) terakhir; dan
  4. 50% (lima puluh persen) dari nilai atas pesawat udara, kapal laut, dan kendaraan bermotor yang disertai bukti kepemilikan.
(5) Agunan selain yang dimaksud pada ayat (3) dapat diperhitungkan sebagai faktor pengurang dalam pembentukan Penyisihan Piutang Pajak Tidak Tertagih setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan.
(6) Barang sitaan selain yang dimaksud pada ayat (4) tidak diperhitungkan sebagai faktor pengurang dalam pembentukan Penyisihan Piutang Pajak Tidak Tertagih.


Pasal 5

(1) Nilai agunan atau Barang Sitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf g dan Pasal 4 ayat (4) huruf d bersumber dari nilai yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.
(2) Dalam hal sumber nilai Agunan atau Barang Sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperoleh, Agunan atau Barang Sitaan tidak diperhitungkan sebagai faktor pengurang Penyisihan Piutang Pajak Tidak Tertagih.


Pasal 6

(1) Pembentukan Penyisihan Piutang Pajak Tidak Tertagih disajikan per jenis pajak.
(2) Nilai Agunan atau Barang Sitaan dikurangkan dari masing-masing dasar penagihan pajak secara proporsional.


Pasal 7

Cara penghitungan Penyisihan Piutang Pajak Tidak Tertagih adalah sebagaimana ditetapkan dalam lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.


Pasal 8

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku maka tata cara penggolongan kualitas piutang pajak dan cara penghitungan penyisihan piutang pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 9

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku untuk penyusunan Laporan Keuangan Tahunan Tahun Anggaran 2011.

Lelang

Undang-undang Nomor 19 TAHUN 2000
PP No 136 TAHUN 2000

 
Apa yang dimaksud dengan lelang?
Setiap penjualan barang di muka umum dengan cara penawaran harga secara lisan atau tertulis melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli.


Bagaimana pelaksanaan lelang?
1. Penjualan secara lelang dilakukan melalui Kantor Lelang dan dilaksanakan paling cepat setelah jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak pengumuman lelang.
2. Pengumuman lelang dilaksanakan paling cepat setelah jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak penyitaan.
3. Pejabat bertindak sebagai penjual atas barang yang disita mengajukan permintaan lelang kepada Kantor Lelang sebelum lelang dilaksanakan.
4. Pejabat atau yang mewakilinya menghadiri pelaksanaan lelang untuk menentukan dilepas atau tidaknya barang yang dilelang dan menandatangani asli risalah Lelang.
5. Lelang tetap dapat dilaksanakan walaupun keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak belum memperoleh keputusan keberatan.
6. Lelang tetap dapat dilaksanakan tanpa dihadiri oleh Penanggung Pajak.
7. Bila hasil lelang sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi biaya penagihan dan utang pajak, pelaksanaan lelang dihentikan walaupun barang yang akan dilelang masih ada.
8. Pejabat dan Jurusita Pajak termasuk istri, keluarga sedarah dan semenda dalam keturunan garis lurus, dan anak angkatnya tidak diperbolehkan membeli barang sitaan yang dilelang.
9. Hak Penanggung Pajak atas barang yang telah dilelang berpindah kepada pembeli dan kepadanya diberikan Risalah Lelang yang merupakan bukti otentik sebagai dasar pendaftaran dan pengalihan hak.


Apa yang dilakukan terhadap hasil lelang barang yang disita?
Hasil lelang dipergunakan terlebih dahulu untuk membayar biaya penagihan yang belum dibayar dan sisanya untuk membayar utang pajak.
Sisa barang beserta kelebihan uang hasil lelang dikembalikan oleh Pejabat kepada Penanggung Pajak segera setelah pelaksanaan lelang.
 
Bilamana lelang tidak dilaksanakan?
Lelang tidak dilaksanakan apabila:
1. Penanggung Pajak telah melunasi utang pajak dan biaya penagihan , atau
2. berdasarkan putusan pengadilan atau putusan Badan Peradilan Pajak yang mengabulkan gugatan Penanggung Pajak; atau
3. objek lelang musnah (karena keaadaan di luar kuasanya/force majeur).

Barang-barang apa yang dikecualikan dari penjualan secara lelang?
1. uang tunai,  
2. kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank seperti deposito berjangka, tabungan, saldo rekening , giro atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu,  
3. obligasi,  
4. saham,  
5. piutang,  
6. penyertaan modal dan surat berharga lainnya, dan  
7. barang yang mudah rusak atau cepat busuk.  

Kapan dilakukan penjualan, penggunaan, dan atau pemindahbukuan barang sitaan yang dikecualikan dari penjualan secara lelang?
Apabila Penanggung Pajak tidak melunasi utang dan biaya penagihan setelah 14 (empat belas) hari sejak penyitaan.

Berapa besarnya tambahan Biaya Penagihan Pajak yang dibayar oleh Penanggung Pajak dalam hal barang yang disita dijual secara lelang dan dijual tidak secara lelang?
1. Untuk barang yang disita dijual secara lelang sebesar 1% (satu persen) dari pokok lelang
2. Untuk barang yang disita dijual tidak secara lelang sebesar 1% (satu persen) dari hasil penjualan.

Siapa yang menanggung biaya pembatalan lelang?
Negara
          

Siapa yang menanggung biaya pembatalan lelang?
Negara